I
PENDAHULUAN
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan
linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam
masyarakat. Sedangkan, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa,
atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu yang mengkaji
bahasa dalam masyarakat, atau penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Diglosia
adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas
varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Bahwa terdapat
perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal.
Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahsa lisan.
Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi
bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk
suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di
rumah). Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis
diglossie yang diserap dari bahas Yunani oleh bahasawan Yunani Loanni Psycharis.
Pada tahun 1930, istilah ini
digunakan juga oleh ahli bahasa Arab, William Marcais.
Kecamatan Bantarkawung merupakan kecamatan yang terletak pada perbatasan
Brebes dengan Jawa Barat. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Sunda kasar, bahasa
Sunda halus, bahasa Indonesia Kesundaan, dan bahasa Indonesia Nasional. Bahasa
dan variasi bahasa tersebut digunakan secara berdampingan oleh masyarakat
sekitar berdasarkan situasi yang sedang berlangsung. Penggunaan variasi bahasa
yang beragam tersebut sudah berlangsung sejak zaman dulu dan menjadi kebudayaan
di masyarakat Bantarkawung.
Dengan adanya beberapa variasi bahasa yang terdapat di Kecamatan
Bantarkawung, muncul pertanyaan bagaimana fungsi diglosia dalam masyarakat
tersebut? Pembahasan mengenai pertanyaan tersebut akan dibahas dalam bab
pembahasan.
II
PEMBAHASAN
Fungsi dalam diglosia merupakan merupakan kriteria yang sangat penting.
Menurut Ferguson (dalam Chaer 2010:93) dalam masyarakat diglosis terdapat dua
variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat
dialek T atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R
atau ragam R). Kedua variasi bahasa tersebut digunakan saling berdampingan
dalam situasi tertentu. Di Kecamatan Bantarkawung ragam T-nya adalah bahasa
Sunda halus dan ragam R-nya adalah bahasa Sunda kasar dan bahasa Sunda
kejawaan.
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat
situasi yang hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain
hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau
formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal atau santai. Bagan
berikut memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana pula dialek R
digunakan.
NO
|
Situasi
|
digunakan
|
|
T
|
R
|
||
1.
|
Ceramah di masjid
|
+
|
-
|
2.
|
Surat pribadi
|
-
|
+
|
3.
|
Percakapan dengan keluarga yang lebih muda
|
-
|
+
|
4.
|
Percakapan dengan keluarga yang lebih tua
|
+
|
-
|
5.
|
Pengajian
|
+
|
-
|
6.
|
Siaran radio
|
-
|
+
|
Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan
si penutur bisadisoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau ejekan
orang lain. Siaran radio dan percakapan dengan orang yang berumur dibawah si
penutur akan menggunakan ragam R. Jika menggunakan ragam T makan kesan yang ada
akan menjadi aneh dalam siaran radio tersebut dan dalam percakapan dengan orang
yang lebih muda jika menggunakan ragam T akan dipandang sombong atau
meninggikan diri sendiri. Dalam percakapan dengan orang yang lebih tua dan
dalam acara pengajian akan digunakan ragam T bukan ragam R. Ketika berbicara
dengan orang yang lebih tua menggunakan ragam R maka si penutur akan dianggap
tidak sopan dan tidak mempunyai sopan santun dalam berbahasa, begitu pun dalam
acara pengajian. Contoh dalam peristiwa tutur berikut.
Renti sebagai penutur (P1) dan Rien
sebagai lawan tutur (P2). Rien berumur lebih tua dari pada Renti. Renti akan
menanyakan kapan Rien berangkat ke Purwokerto.
Renti : “Ceu, bade iraha angkat ka Purwokertona?”
(Ceu, mau kapan
berangkat ke Purwokertonya?)
Rien : “bieng, Yen. Iyen erek iraha kitu?”
(gak tau, Yen. Iyen
mau kapan?)
Renti : “duka, Ceu. Iyen gen masih bingung. Bade bareng?”
(gak tau, Ceu. Iyen
juga masih bingung. Mau bareng?)
Dapat dilihat dengan jelas perbedaan
bahasa yang digunakan oleh P1 dengan P2, meskipun bahasa yang mereka gunakan
sama-sama bahasa Sunda. P1 menggunakan bahasa Sunda halus kata ‘bade’, ‘angkat’, dan ‘duka’ (mau/akan, berangkat, dan tidak tahu), berbeda dengan bahasa
yang digunakan oleh P2 yaitu bahasa Sunda kasar kata ‘bieng’ dan ‘erek’ (tidak
tahu dan mau/akan). Jikan P1 menggunakan bahasa Sunda kasar juga berarti P1
tidak memiliki sopan santun dalam berbahasa dan akan dianggap tidak menghormati
lawan tuturnya yang berumur lebih tua. Bandingan dengan peristiwa tutur
berikut.
Wina dan Leha sudah berteman lama.
Usia mereka sebaya, dan sudah sangat akrab. Berikut percakapan ketika Renti
memanggil Leha dan mengajak main.
Wina : “Mpoo... ker naen? Ulin yuk?”
(Mpoo. lagi apa? Main
yuk?)
Leha : “naen, Ekim? Ulin kameni? Erek mangkat ngaji yeh, Kim ek ngaji te?”
(apa, Ekim? Main
kemana? Mau berangkat ngaji nih, Yen mau berangkat gak?)
Wina : “hah? Boa ayena ngaji kituh, Mpo? Pohoan, dak. Kehela Mpo tungguan.”
(hah? Emang sekarang
ngaji, Mpo? O’ya lupa. Ntar dulu Mpo tungguin.)
Dalam percakapan di atas bahasa yang digunakan yaitu bahasa Sunda kasar
atau santai. Dapat dilihat dari nama panggilan ‘Mpo’ dan ‘Ekim’, panggilan
tersebut menunjukan hubungan yang sudah dekat. Kata-kata seperti ‘ker naen’, ‘erek mangkat’, ‘pohoan, dak’
(lagi apa, mau berangkat, kelupaan) digunakan pada orang yang sebaya atau
sudah akrab dan kepada orang yang lebih muda dari si penutur.
Jika dibandingkan dengan percakapan sebelumnya antara Renti dan Rien,
bahasa yang digunakan sudah jelas berbeda. Ketika bersama Rien, Renti
menanyakan ‘mau berangkat’ dengan bahasa halus ‘bade angkat’, sedangkan di percakapan yang ke dua antara Renti dan
Leha, bahasa yang digunakan bahasa Sunda kasar. Ketika Leha bertanya ‘mau
berangkat’ dengan kata ‘ek mangkat’.
Padahal arti dari keduanya sama saja yaitu ‘mau berangkat’.
Dari dua peristiwa tutur di atas, dapat dilihat bahwa dua variasi bahasa
yang terdapat pada masyarakat tersebut dapat berdampingan digunakan sesuai
dengan situasi dan lawan tutur yang sedang berlangsung.
Tidak hanya bahasa Sunda dengan variasi kasar dan halus saja yang dikenal
oleh masyarakat Kecamatan Bantarkawung, ada juga bahasa Indonesia yang memiliki
dua variasi yaitu bahasa Indonesia kesundaan dan bahasa Indonesia Nasional.
Dalam ranah ini bahasa Indonesia kesundaan disebut ragam R dan bahasa Indonesia Nasional disebut ragam
T. Bagan berikut memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana pula
dialek R digunakan.
NO
|
Situasi
|
digunakan
|
|
T
|
R
|
||
1.
|
Pengantar pendidikan
|
+
|
-
|
2.
|
Jual beli di pasar kota
|
-
|
+
|
3.
|
Murid dengan guru di luar pendidikan
|
-
|
+
|
4.
|
Pemerintahan
|
+
|
-
|
5.
|
Surat parlemen
|
+
|
-
|
Sama halnya
dengan bahasa Sunda dan variasi bahasanya. Dalam bahasa Indonesia ragam T dan
ragam R yang tidak cocok dengan situasinya akan menimbulan olokan, cemoohan,
dan pandangan yang tidak baik. Berikut percakapan yang menggunakan bahasa
Indonesia Nasional dalam situasi pembelajaran formal.
Guru :
“Selamat pagi. Pengumuman untuk siswa kelas 12 IPS 1. Hari ini pelajaran
Geografi ditiadaka, karena guru yang bersangkutan berhalangan hadir.
Murid : “Pak Norman
berhalangan apa, Bu?”
Guru :
“Hari ini Pak Norman ada pelatihan di Brebes. Kalian diberi tugas mengerjakan
soal halaman 20 sampai 26, dikumpilkan setelah jam pelajaran selesai di meja
Pak Norman. Ada yang mau ditanyakan?”
Murid :
“Tidak, Bu.”
Dalam percakapan di atas antara guru
dan murid menggunakan bahasa Indonesia Nasional dalam situasi pembelajaran
formal. Jika menggunakan bahasa Indonesia kesundaan maka situasinya tidak
tepat, karena situasi tersebut dalam ranah formal bukan informal. Berbeda
dengan percakapan berikutnya antara guru dengan murid di luar ranah pendidikan,
seperti murid yang tidak sengaja bertemu dengan guru sekolahnya di jalan.
Murid :
“Siang, Pak.”
Guru :
“Siang. Mau kemana kamu? Bukana ngejain tugas.”
Murid :
“Atuh saya mah sudah, Bapak. Gak mungkin saya main kalo saya belum ngerjain
tugas. Gimana si Bapak, teh.
Guru : “Nya bagus atuh kalo kaya gitu mah.
Bapak duluan ya.”
Percakapan di atas menggambarkan
situasi santai antara guru dan murid masih menggunakan bahasa Indonesia dengan
bercampur bahasa Sunda yang disebut bahasa Indonesia kesundaan. Bahasa
Indonesia kesundaan dapat dipakai dalam situasi diatas.
Perbandingan antara percakapan guru
dan murid di situasi formal, dan percakapan guru dan murid dalam situasi santai
sangat terlihat perbedaannya. Dalam situasi formal bahasa yang digunakan bahasa
Indonesia Nasional sesuai dengan kaidah kebahasaan dan pemilihan katanya sesuai
dengan EYD. Sedangkan dalam situasi santai bahasa yang digunakan bahasa
Indonesia kesundaan, bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa sunda dan
menggunakan logat Kecamatan Bantarkawung.
III
SIMPULAN
Diglosia adalah suatu situasi bahasa
di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau
bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Bahwa terdapat perbedaan antara ragam
formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal. Di Kecamatan Bantarkawung
terdapat dua bahasa yang dominan yaitu bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, dari
masing-masing bahasa memiliki variasi bahasa lagi. Bahasa sunda dengan variasi
bahasa Sunda halus dan bahasa Sunda Kasar. Bahasa Indonesia dengan variasi
bahasa Indonesia kesundaan dan bahasa Indonesia Nasional.
Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua maka menggunakan bahasa
Sunda halus, dan ketika berbicara dengan orang yang sebaya atau lebih muda
menggunakan bahasa Sunda kasar atau bahasa Sunda santai. Dalam penggunaan
bahasa Indonesia juga terdapat situasi-situasi tertentu, ketika dalam ranah
formal seperti dalam pendidikan menggunakan bahasa Indonesia Nasional dan
ketika guru dan murid berbicara di luar sekolah dalam situasi santai
menggunakan bahasa Indonesia kesundaan.
Dari beberapa contoh percakapan dapat disimpulkan bahwa diglosia memang
terdapat di masyarakat Kecamatan Bantarkawung. Masyarakat dapat menempatkan
penggunaan bahasa sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi. Mereka tidak
kesulitan dalam melakukan hal tersebut karena diglosia di Kecamatan
Bantarkawung telah berlangsung lama dan menjadi kebiasaan, bahasa dan
variasinya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari mereka.