- See more at: http://www.mybloggerwidgets.com/2013/04/add-snow-falling-effect-in-blogger.html#sthash.H9P4j4nT.dpuf

Monday 23 February 2015

DIGLOSIA DI MASYARAKAT KECAMATAN BANTARKAWUNG



I
PENDAHULUAN
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu yang mengkaji bahasa dalam masyarakat, atau penggunaan bahasa dalam masyarakat.
             Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal. Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahsa lisan. Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di rumah). Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahas Yunani oleh bahasawan Yunani Loanni Psycharis. Pada tahun 1930, istilah ini digunakan juga oleh ahli bahasa Arab, William Marcais.
Kecamatan Bantarkawung merupakan kecamatan yang terletak pada perbatasan Brebes dengan Jawa Barat. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Sunda kasar, bahasa Sunda halus, bahasa Indonesia Kesundaan, dan bahasa Indonesia Nasional. Bahasa dan variasi bahasa tersebut digunakan secara berdampingan oleh masyarakat sekitar berdasarkan situasi yang sedang berlangsung. Penggunaan variasi bahasa yang beragam tersebut sudah berlangsung sejak zaman dulu dan menjadi kebudayaan di masyarakat Bantarkawung.
Dengan adanya beberapa variasi bahasa yang terdapat di Kecamatan Bantarkawung, muncul pertanyaan bagaimana fungsi diglosia dalam masyarakat tersebut? Pembahasan mengenai pertanyaan tersebut akan dibahas dalam bab pembahasan.



II
PEMBAHASAN
Fungsi dalam diglosia merupakan merupakan kriteria yang sangat penting. Menurut Ferguson (dalam Chaer 2010:93) dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T) dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Kedua variasi bahasa tersebut digunakan saling berdampingan dalam situasi tertentu. Di Kecamatan Bantarkawung ragam T-nya adalah bahasa Sunda halus dan ragam R-nya adalah bahasa Sunda kasar dan bahasa Sunda kejawaan.
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi yang hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal atau santai. Bagan berikut memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana pula dialek R digunakan.
NO
Situasi
digunakan
T
R
1.
Ceramah di masjid
+
-
2.
Surat pribadi
-
+
3.
Percakapan dengan keluarga yang lebih muda
-
+
4.
Percakapan dengan keluarga yang lebih tua
+
-
5.
Pengajian
+
-
6.
Siaran radio
-
+

Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisadisoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau ejekan orang lain. Siaran radio dan percakapan dengan orang yang berumur dibawah si penutur akan menggunakan ragam R. Jika menggunakan ragam T makan kesan yang ada akan menjadi aneh dalam siaran radio tersebut dan dalam percakapan dengan orang yang lebih muda jika menggunakan ragam T akan dipandang sombong atau meninggikan diri sendiri. Dalam percakapan dengan orang yang lebih tua dan dalam acara pengajian akan digunakan ragam T bukan ragam R. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan ragam R maka si penutur akan dianggap tidak sopan dan tidak mempunyai sopan santun dalam berbahasa, begitu pun dalam acara pengajian. Contoh dalam peristiwa tutur berikut.
            Renti sebagai penutur (P1) dan Rien sebagai lawan tutur (P2). Rien berumur lebih tua dari pada Renti. Renti akan menanyakan kapan Rien berangkat ke Purwokerto.
Renti    : “Ceu, bade iraha angkat ka Purwokertona?”
            (Ceu, mau kapan berangkat ke Purwokertonya?)
Rien     : “bieng, Yen. Iyen erek iraha kitu?”
            (gak tau, Yen. Iyen mau kapan?)
Renti    : “duka, Ceu. Iyen gen masih bingung. Bade bareng?
            (gak tau, Ceu. Iyen juga masih bingung. Mau bareng?)
            Dapat dilihat dengan jelas perbedaan bahasa yang digunakan oleh P1 dengan P2, meskipun bahasa yang mereka gunakan sama-sama bahasa Sunda. P1 menggunakan bahasa Sunda halus kata ‘bade’, ‘angkat’, dan ‘duka’ (mau/akan, berangkat, dan tidak tahu), berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh P2 yaitu bahasa Sunda kasar kata ‘bieng’ dan ‘erek’ (tidak tahu dan mau/akan). Jikan P1 menggunakan bahasa Sunda kasar juga berarti P1 tidak memiliki sopan santun dalam berbahasa dan akan dianggap tidak menghormati lawan tuturnya yang berumur lebih tua. Bandingan dengan peristiwa tutur berikut.
            Wina dan Leha sudah berteman lama. Usia mereka sebaya, dan sudah sangat akrab. Berikut percakapan ketika Renti memanggil Leha dan mengajak main.
Wina    : “Mpoo... ker naen? Ulin yuk?”
            (Mpoo. lagi apa? Main yuk?)
Leha    : “naen, Ekim? Ulin kameni? Erek mangkat ngaji yeh, Kim ek ngaji te?”
            (apa, Ekim? Main kemana? Mau berangkat ngaji nih, Yen mau berangkat gak?)
Wina    : “hah? Boa ayena ngaji kituh, Mpo? Pohoan, dak. Kehela Mpo tungguan.”
            (hah? Emang sekarang ngaji, Mpo? O’ya lupa. Ntar dulu Mpo tungguin.)
Dalam percakapan di atas bahasa yang digunakan yaitu bahasa Sunda kasar atau santai. Dapat dilihat dari nama panggilan ‘Mpo’ dan ‘Ekim’, panggilan tersebut menunjukan hubungan yang sudah dekat. Kata-kata seperti ‘ker naen’, ‘erek mangkat’, ‘pohoan, dak’ (lagi apa, mau berangkat, kelupaan) digunakan pada orang yang sebaya atau sudah akrab dan kepada orang yang lebih muda dari si penutur. 
Jika dibandingkan dengan percakapan sebelumnya antara Renti dan Rien, bahasa yang digunakan sudah jelas berbeda. Ketika bersama Rien, Renti menanyakan ‘mau berangkat’ dengan bahasa halus ‘bade angkat’, sedangkan di percakapan yang ke dua antara Renti dan Leha, bahasa yang digunakan bahasa Sunda kasar. Ketika Leha bertanya ‘mau berangkat’ dengan kata ‘ek mangkat’. Padahal arti dari keduanya sama saja yaitu ‘mau berangkat’.
Dari dua peristiwa tutur di atas, dapat dilihat bahwa dua variasi bahasa yang terdapat pada masyarakat tersebut dapat berdampingan digunakan sesuai dengan situasi dan lawan tutur yang sedang berlangsung.
Tidak hanya bahasa Sunda dengan variasi kasar dan halus saja yang dikenal oleh masyarakat Kecamatan Bantarkawung, ada juga bahasa Indonesia yang memiliki dua variasi yaitu bahasa Indonesia kesundaan dan bahasa Indonesia Nasional. Dalam ranah ini bahasa Indonesia kesundaan disebut ragam R  dan bahasa Indonesia Nasional disebut ragam T. Bagan berikut memperlihatkan kapan digunakan dialek T dan bagaimana pula dialek R digunakan.
NO
Situasi
digunakan
T
R
1.
Pengantar pendidikan
+
-
2.
Jual beli di pasar kota
-
+
3.
Murid dengan guru di luar pendidikan
-
+
4.
Pemerintahan
+
-
5.
Surat parlemen
+
-

           




Sama halnya dengan bahasa Sunda dan variasi bahasanya. Dalam bahasa Indonesia ragam T dan ragam R yang tidak cocok dengan situasinya akan menimbulan olokan, cemoohan, dan pandangan yang tidak baik. Berikut percakapan yang menggunakan bahasa Indonesia Nasional dalam situasi pembelajaran formal.
Guru              : “Selamat pagi. Pengumuman untuk siswa kelas 12 IPS 1. Hari ini pelajaran Geografi ditiadaka, karena guru yang bersangkutan berhalangan hadir.
Murid            : “Pak Norman berhalangan apa, Bu?”
Guru              : “Hari ini Pak Norman ada pelatihan di Brebes. Kalian diberi tugas mengerjakan soal halaman 20 sampai 26, dikumpilkan setelah jam pelajaran selesai di meja Pak Norman. Ada yang mau ditanyakan?”
Murid            : “Tidak, Bu.”
            Dalam percakapan di atas antara guru dan murid menggunakan bahasa Indonesia Nasional dalam situasi pembelajaran formal. Jika menggunakan bahasa Indonesia kesundaan maka situasinya tidak tepat, karena situasi tersebut dalam ranah formal bukan informal. Berbeda dengan percakapan berikutnya antara guru dengan murid di luar ranah pendidikan, seperti murid yang tidak sengaja bertemu dengan guru sekolahnya di jalan.
Murid            : “Siang, Pak.”
Guru             : “Siang. Mau kemana kamu? Bukana ngejain tugas.”
Murid           : “Atuh saya mah sudah, Bapak. Gak mungkin saya main kalo saya belum ngerjain tugas. Gimana si Bapak, teh.
Guru              : “Nya bagus atuh kalo kaya gitu mah. Bapak duluan ya.”
            Percakapan di atas menggambarkan situasi santai antara guru dan murid masih menggunakan bahasa Indonesia dengan bercampur bahasa Sunda yang disebut bahasa Indonesia kesundaan. Bahasa Indonesia kesundaan dapat dipakai dalam situasi diatas.
            Perbandingan antara percakapan guru dan murid di situasi formal, dan percakapan guru dan murid dalam situasi santai sangat terlihat perbedaannya. Dalam situasi formal bahasa yang digunakan bahasa Indonesia Nasional sesuai dengan kaidah kebahasaan dan pemilihan katanya sesuai dengan EYD. Sedangkan dalam situasi santai bahasa yang digunakan bahasa Indonesia kesundaan, bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa sunda dan menggunakan logat Kecamatan Bantarkawung.

III
SIMPULAN
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal. Di Kecamatan Bantarkawung terdapat dua bahasa yang dominan yaitu bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, dari masing-masing bahasa memiliki variasi bahasa lagi. Bahasa sunda dengan variasi bahasa Sunda halus dan bahasa Sunda Kasar. Bahasa Indonesia dengan variasi bahasa Indonesia kesundaan dan bahasa Indonesia Nasional.
Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua maka menggunakan bahasa Sunda halus, dan ketika berbicara dengan orang yang sebaya atau lebih muda menggunakan bahasa Sunda kasar atau bahasa Sunda santai. Dalam penggunaan bahasa Indonesia juga terdapat situasi-situasi tertentu, ketika dalam ranah formal seperti dalam pendidikan menggunakan bahasa Indonesia Nasional dan ketika guru dan murid berbicara di luar sekolah dalam situasi santai menggunakan bahasa Indonesia kesundaan.
Dari beberapa contoh percakapan dapat disimpulkan bahwa diglosia memang terdapat di masyarakat Kecamatan Bantarkawung. Masyarakat dapat menempatkan penggunaan bahasa sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi. Mereka tidak kesulitan dalam melakukan hal tersebut karena diglosia di Kecamatan Bantarkawung telah berlangsung lama dan menjadi kebiasaan, bahasa dan variasinya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari mereka.